Salak pondoh adalah fenomenal. Mulai dikembangkan pada kira-kira tahun 1980an, salak yang manis dan garing ini segera menjadi buah primadona yang penting di wilayah DIY. Tahun 1999, produksi buah ini di Yogyakarta meningkat 100% dalam lima tahun, mencapai 28.666 ton. Kepopuleran salak pondoh di lidah konsumen Indonesia tak lepas dari aroma dan rasanya, yang manis segar tanpa rasa sepat, meski pada buah yang belum cukup masak sekalipun.[6]
Gambaran produksi itu jelas memperlihatkan lonjakan pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Perkiraan produksi salak di seluruh Jawa sampai tahun 1980an hanya berkisar antara 7.000 – 50.000 ton, dengan wilayah Jawa Barat menyumbang kurang lebih setengah dari jumlah itu.[3]
Salak pondoh sendiri ada bermacam-macam lagi variannya. Beberapa yang terkenal di antaranya adalah pondoh super, pondoh hitam, pondoh gading, pondoh nglumut yang berukuran besar, dan lain-lain. Di wilayah DIY, sentra penghasil salak pondoh ini adalah kawasan lereng Gunung Merapi yang termasuk wilayah Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.
Salak pondoh nglumut atau kerap pula disebut salak nglumut, namanya diambil dari nama desa penghasil varietas salak unggul ini yaitu Desa Nglumut yang juga berada di hamparan Merapi dan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Kini perkebunan salak pondoh telah meluas ke mana-mana, seperti ke wilayah Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Kuningan dan lain-lain.
Buah salak bisa didapatkan dari bunga salak betina yang sudah dikawinkan dengan bunga salak jantan.Bunga salak tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri,tetapi harus dibantu dengan perantara manusia atau angin. Buah salak tidak boleh dikonsumsi terlalu banyak karena akan menyebabkan sembelit. Salak juga bisa dijadikan keripik.